Kamis, 17 April 2008

ALI MOEKMIN – WHO’S

Penulis mengenal beliau hanya lewat foto/lukisannya saja yang dipasang pada dinding ruang makan rumah saya di Semarang. Dahulu saya menyebut Bapaknya-Bapak ini dengan Embah Ali Moekmin begitu saja.Tapi sekarang kata “embah’ ini kok rasanya tidak pas ya. Kata itu, tersirat kok tidak ada unsur penghormatannya pada orangtua.Oleh sebab itu, maka saya kemudian(dan juga mengajak yang lain) mulai sekarang, menyebut beliau dengan “Eyang Moekmin”.Kapan Eyang ini dilahirkan dan meninggalnya kok ya lupa ya.Tapi yang banyak cerita tentang Eyang Moekmin pada akhir-2 ini adalah bulik Tarmi(almarhun) dan mbak Mul Walkiatmo(almarhum) dibeberapa kesempatan.Misal saat di Carita, Puncak, Pondokbambu dan lain-lain.Sedangkan Eyang “Putri” Moekmin, hanya diceritakan meninggal beberapa saat setelah bulik Tarmi lahir, sehingga Eyang “Kakung” sendirilah (karena setelahnya tercatat Eyang tidak pernah menikah lagi, setelah ditinggal Eyang Putri) yang kemudian membesarkan ketujuh anaknya.Konon Eyang kita ini berprofesi sebagai pemusik (peniup semacam saxophone, kalau jaman sekarang barangkali) dan kemudian menjajakan “keahliannya” itu cara berkeliling kota. Eyang Moekmin dimakamkan di Dukuh Kebejen-Desa Kuwarisan, Kecamatan Kutowinangun Kabupaten Kebumen-Jawa Tengah.

Ketujuh anak Eyang Moekmin adalah : (diolah dari sumber Ikkam)

  1. Marimpi, bersuamikan Ngapini, sehingga beliau lebih dikenal dengan bude Ngapinii dari pada namanya sendiri. Mereka berprofesi sebagai petani pemilik sawah. Sampai dengan akhir hayatnya tinggal didesa Kebejen-Kutowinangun.
  2. Marsini, tinggal sampai dengan akhir hayatnya di Sidareja(kurang banyak dicritakan-sehingga tidak banyak yang tahu). Anak turun dari beliau yang kita kenal adalah mas Pamrih (Soepramih-pensiunan bank pemerintah).
  3. Markam, setelah dewasa mengganti namanya dengan Pudjiharjo. Beliau dikenal dengan pakde Pudji maupun pak Pudji. Sebetulnya selama ini tinggalnya di Gang Melati Kebumen. Tapi karena sakitnyalah kemudian beliau tetirah diboyong anak cucunya ke Jakarta sampai akhir hayatnya, walaupun kemudian tetap dimakamkan di Kutowinangun-dekat dengan makam ayahnya-Eyang Moekmin.
  4. Karno, setelah dewasa dikenal dengan Djayengwiyoto. Beliau berprofesi sebagai guru dan sekalgus petani pemilik sawah.Sampai dengan akhir hayatnya tinggal di Kembangsawit-Kutowinangun Kebumen
  5. Marijah, sebagai ibu rumah tangga.Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan bude Narso, karena kemudian beliau bersuamikan Soenarso Kartosoediro yang bertempat tinggal terakhir di Surabaya.
  6. Mariman, setelah dewasa mengganti namanya menjadi Digdowirogo; nama yang dikenal sampai dengan sekarang. Beliau awalnya berprofesi sebagai guru Sekolah Rakyat (SR-sekarang SD).Tempat tinggal terakhir sampai pada akhir hayatnya adalah di Semarang
  7. Sutarmi, sebagai ibu rumah tangga dan bersuamikan Soetomo, sehingga kemudian juga dikenal dengan bulik Tomo disamping bulik Tarmi